BAB I
PENDAHULUAN
Di
masyarakat kita, masalah Pendidikan sudah tidak asing lagi, baik masyarakat bawah,
menengah, maupun atas. Secara kasat mata banyak kita lihat lembaga pendidikan
yang berdiri di kanan kiri kita, mulai dari Flay Group/PAUD, TK/RA hingga
Perguruan Tinggi. Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin butuh terhadap
adanya pendidikan.
Banyak
Hadits Nabi yang memerintahkan kepada umatnya untuk mencari ilmu/pendidikan,
dan Allah pun akan mengangkat derajat seseorang juga karena ilmunya, seperti disebut
dalam Firman Nya “…Yarfa’illaahu Al ladziina aamanuu minkum walladziina
uutul ‘ilma darojaat…”, QS. Al Mujadalah ayat 11. Pendidikan dan hakekatnya
adalah usaha untuk mengubah dan mengarahkan keadaan dan nasib suatu
bangsa/warga negara. Hal ini diperjelas dalam firman Nya yang terdapat pada Al
Qur-an Surat Ar Ra’d ayat 11.
Kesadaran bahwa dengan pendidikan manusia dapat hidup
secara layak adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun benarkah
pendidikan telah sedemikian rupa menjadi jalan keluar bagi kebutuhan manusia
untuk hidup secara layak. Terlepas dari perbedaan pendapat yang tentu
masing-masing menyodorkan alasan-alasan untuk memperkuat fahamnya, adalah
sebuah kenyataan bahwa pendidikan tetap menjadi impian.
Berbicara Pendidikan memang tidak bisa lepas dari
konsep perwatakannya itu sendiri, tidak habis-habisnya menjadi inspirasi
pembahasan kehidupan. Setiap manusia dengan seluruh perwatakannya dan ciri
pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan.
Faktor ini mempengaruhi manusia dan berinteraksi dengannya sejak ia lahir
hingga sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu sudah selayaknya pengaruh dan
peranan lingkungan terhadap pendidikan begitu kuat nya.
Menanggapi hal ini, ternyata masing-masing daerah atau
negara mempunyai ciri khas dan karakteristik berbeda serta konsep yang berbeda
pula. Sebagaimana negara tercinta kita ini juga mempunyai konsep tersendiri
tentang pendidikan, dari masa ke masa pendidikan di negara kita juga mengalami perubahan seiring dengan
perkembangannya. Namun bukan berarti secara totalitas meninggalkan konsep
pendidikan lama yang merupakan peninggalan leluhur kita, sebagaimana sistem
yang diterapkan oleh para Wali Sembilan (Wali Songo) yang mendarah daging dan
melebur dengan kebudayaan Jawa. Oleh karena itu penulis tertarik dengan konsep
pendidikan Jawa, sehingga kami angkat sebuah judul “Konsep Pendidikan Dari
Sudut Pandang Kultur Jawa”.
Semoga karya tulis ANALISIS KRITIS yang sangat singkat
ini ada faedah dan manfaatnya bagi generasi yang akan datang. Untuk itu kritik
dan saran dari berbagai pihak, khususnya dari Dosen Pembimbing, selalu kami
harapkan.
BAB
II
KONSEP PENDIDIKAN DARI SUDUT PANDANG
KULTUR JAWA
A. Pendidikan dan
Budaya Jawa
Suku Jawa adalah salah satu dari sekian banyak suku
yang ada di wilayah Indonesia.
Karena mempunyai ciri khas yang berbeda dengan suku yang lain, maka orang Jawa
sangat dikenal dengan adab ketimurannya, sopan santun, ramah, dan rendah hati.
Hal ini dapat terwujud jika kita mau mendalami ilmunya dan mau mengamalkannya
sesuai kaidah-kaidah ajarannya. Pendidikan Jawa banyak diwarnai oleh
ajaran-ajaran agama yang pernah masuk di pulau Jawa, diantaranya Hindu, Budha,
dan Islam.
Ajaran Islam yang dibawa oleh para
Waliyullah dapat diterima oleh masyarakat jawa karena kepiawaiannya dalam
berdakwah. Beliau berdakwah dengan tanpa menghilangkan budaya asli jawa, sebagai
contoh Raden Qosim atau yang lebih dikenal dengan Sunan Drajat
menciptakan gamelan Singo Mengkok, tembang Pupuh Asmaradana, gending Pangkur
(menurut akronim jawa: Pangkur = Pangudi isine Al Qur an) dan lain-lain
(Hidayat Ikhsan M.R. 2001 : 31). Beliau juga memberi ajaran atau pendidikan
pada pengikutnya yang hingga kini terkenal dengan sebutan “Catur Piwulang” sebagai
berikut:
1.
Menehono teken marang wongkang wuta (berilah tongkat pada orang yang
buta), arti filosofisnya: kaum cerdik cendekia agar tidak segan-segan
mengajarkan ilmunya kepada orang yang masih buta pengetahuan, bodoh (jumud)
agar tidak terjerumus kedalam perbuatan yang ternoda atau dosa.
2.
Menehono pangan marang wongkang luwe (berilah makan pada orang yang
kelaparan), mengandung maksud: bagi para penguasa atau orang kaya agar
memberikan makan atau bantuan kepada rakyat yang menderita kelaparan dan
kesusahan.
3.
Menehono sandang marang wongkang wuda
(berilah pakaian
pada orang yang telanjang), artinya bagi orang yang mampu untuk memberi
pakaiannya kepada yang tidak mampu mendapatkannya, makna filosofisnya pakaian
mengandung unsur etika dan estetika, penutup aurat, juga mengajari kesusilaan
bagi bagi orang-orang yang tidak punya rasa malu.
4.
Menehono payung marang wongkang kaudanan
(berilah tempat berteduh bagi orang yang kehujanan), secara filosofis dapat
diterjemahkan bahwa bagi para penguasa untuk selalu memberikan perlindungan dan
pengayoman bagi para kaum yang lemah.
B. Pendidikan
dan Seni Wayang / Ringgit
Kesenian Jawa yang banyak mengandung
fatwa, pesan-pesan moral, pendidikan, dan berbagai gambaran hidup manusia
adalah Seni Wayang Kulit atau terkenal dengan sebutan Ringgit Wacucal. Seni
Wayang Kulit ini juga sering digunakan sebagai sarana / alat da’wah para Wali
terdahulu dalam mengembangkan ajaran Islam di tanah Jawa ini.
Banyak
kisah pewayangan yang menarik dan penuh dengan nilai-nilai luhur bagi para
pemimpin atau penguasa, diantaranya Wahyu Makutha Rama.
Dalam kisah ini singkatnya R. Arjuna
dalam perjalanan Rohaninya/Riyadlah (jawa : tirakat) berhasil menghadap (sowan)
Begawan Kesawasidi, dan diberi wahyu Makutha Rama yang isinya “Hastha Brata”
yaitu wahyu keprabon / kepemimpinan. Hastha artinya hitungan kedelapan
dalam bahasa Kawi (jawa kuno). Didalamnya mengandung contoh sifat / teladan 8
Dewa dan watak / sifat 8 unsur alam.
1. Bathara Wisnu
– sifatnya bumi; Mempunyai
sifat sabar yang tak terhingga, walau dicangkul, dibajak, dan diolah sedemikian
rupa justru memberi kesuburan pada tanaman yang dapat diambil hasilnya. Bumi
memberi penghidupan pada semua makhluk yang ada padanya.
2. Bathara Bayu – sifatnya Maruta / Angin; Mempunyai
sifat dapat masuk kesegala ruang tanpa membeda-bedakan besar kecilnya ruang,
bersih tidaknya ruang, merata dimana-mana ada. Dan yang lebih penting lagi
angin atau udara sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup yang ada dimuka
bumi ini.
3. Bathara
Baruna – sifatnya Samudra / Air; berwatak adil dan senang hati, tidak menang sendiri, damai,
walau dipisahkan mudah berkumpul kembali. Air juga memberi penghidupan, samudra
juga berarti luas, luas pengetahuan, luas cara pandangnya, lapang dada/hatinya.
4. Bathari Ratih
– sifatnya Chandra / Rembulan; cahayanya yang lembut memberi penerang pada bumi seisinya
dengan rasa senang dan tenteram, luwes, menumbuhkan rasa kasih sayang.
5. Bathara Surya – sifatnya Matahari; bisa memberi
kekuatan, memberi penerangan atau cahaya yang sangat dibutuhkan oleh semua
makhluk di muka bumi.
6. Bathara Indra
– sifatnya Angkasa / Langit; memberi pengayoman pada semua makhluk tanpa pilih kasih,
memberi keadilan dalam membagi musim.
7. Bathara Brahma
– sifatnya Dahana / Api; mempunyai sifat pelebur, memberantas angkara murka, dapat mengatasi
masalah kecil ataupun yang besar, halus dan atau yang kasar.
8. Bathara
Ismaya – sifatnya Kartika / Bintang; bersifat tertib, rapi, tangguh, tidak gampang kena pengaruh,
dapat memberi penghibur pada yang susah, memberi petunjuk pada yang
kebingungan/kehilangan arah.
Demikianlah uraian “Astha Brata” agar
supaya dapat digunakan sebagai contoh suri tauladan bagi seluruh makhluk di
dunia ini, lebih-lebih para pemimpin, baik pemimpin keluarga, pemimpin sebuah
lembaga, ataupun pemimpin bangsa dan negara (G. Setyo Nugraha dan M. Abi
Tofani).
BAB III
PENUTUP
A. Inti Analisis
Dari Konsep Pendidikan Jawa yang sudah dipaparkan di
depan, penulis dapat menuliskan inti dari konsep tersebut sebagai berikut:
1.
Guru (menurut akronim Jawa: Guru = digugu
lan ditiru). Sosok / figur seorang guru harus dapat menjadi suri tauladan
terhadap anak didiknya. Tidak hanya sekedar penyampai ilmu saja (guru wujud),
tetapi lebih penting lagi sebuah figur yang dapat dicontoh. Menurut orang Jawa
guru itu ada 4 macam, yaitu:
a. Guru Wujud = hanya
menyampaikan ilmu / pengetahuan saja.
b. Guru Pituduh = dapat memberi petunjuk bagaimana menerapkan ilmu dalam
kehidupan nyata.
c. Guru Sejati = selain
mampu seperti kedua diatas, juga mampu mengajarkan dan menerapkan dari mana dia
ada, untuk apa dia ada, dan kemana dia akan pergi.
d. Guru Purwa = gurunya
guru, guru yang sangat luar biasa (Jawa: Sabda Dadi).
2. Murid mencari Guru, bukan guru mencari murid. Ibarat
orang membutuhkan air, ia harus datang ke sumur, telaga, danau atau sumber air
yang lain. Murid dapat menyesuaikan sumber air mana yang ia butuhkan. Itulah
adab yang diterapkan pada pendidikan jawa.
3. Pendidikannya menekankan pada bentuk Sosial Ekonomi
dan Sosial Budaya.
B. Kesimpulan.
Dari
uraian “Catur Piwulang” dan Wahyu Makutha Rama dengan “Astha Brata”nya dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
·
Manusia wajib berusaha untuk mendapatkan ilmu /
pendidikan sebanyak-banyaknya / semaksimal mungkin.
·
Mencari kesempurnaan ilmu harus banyak Riyadlah (Jawa:
Tirakat), siap menghadapi halangan dan
rintangan, serta godaan-godaan lain yang dapat menggagalkan cita-cita.
·
Jika menjadi seorang pemimpin harus merakyat, adil,
mengayomi, mengutamakan kepentingan umum, dan lain-lain seperti yang dijelaskan
di depan.
·
Penekanan akhir adalah Penerapan Hidup Sosial yang
Rahmatan Lil ‘Alamiin.
C. SARAN :
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat Ihsan MR, 2001. Sunan
Drajat Dalam Legenda Dan Sejarahnya. Drajat, Desember 2001.
G. Setyo Nugraha dan M. Abi Tofani, Kawruh
Basa Jawa. Surabaya: Penerbit “KARTIKA”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar